Hatimu rumah kosong berdebu. Ketuk-ketuk ritmis jemariku pernah mampu membuka pintu. Butir pasir menumpuk di siku jendelamu. Lantai lengket terasa di telapak kakiku. Sembari menahan gatal hidung, kemoceng terayun di pergelangan tanganku.
Hatimu rumah hangat layak tuju. Ada pola menghampirimu terpatri di telapak kakiku. Waktu itu. Di bawah atapmu rajut tersulur tanpa kenal waktu. Tak lagi gidik terasa, nyaman di dada angkuh merasa pimpin penjuru. Hati terlampau merasa dekat, aku hilang pikat. Biasa jadi racun yang perlahan menggerogoti tulang belakangku. Menjaga nyamanmu, kini aku tak lagi mampu.
Aku lumpuh sementara waktu. Hatimu enggan kujangkau dulu. Ada cemas tentang betapa debal debumu. Apa kau mau naik kursi membersihkan sarang laba-laba di atapmu? Tongkat menyangga ketiak, kuseret tubuh menghampirimu. Kau kotor, tapi riuh tak khawatir debu. Rumahmu kini sesak, tongkatku tak bisa masuk daun pintumu. Sedang untuk merangkak di hadapmu, aku tak mau. Atau mungkin aku hanya malu?
Hatimu rumah berdebu. Ia hanya tak pernah sekosong dulu.