Tiga tahun murni belajar hapalan, membuat cinta kita kehilangan hitungan.
Sebab aku sudah berhenti menghitung, apakah ini bulan pertama atau keenam.
Sebab aku sudah lama tak peduli, kita berjumpa pagi atau malam.
Sebab aku sudah tak lagi nyaman, acuh menantimu dalam diam.
Kini hari perayaan tak lagi signifikan.
Cukuplah dengan kebuntuan tempat makan, tawa kecil di beranda depan, atau main bersama Marshall.
Menerima protesmu yang jengah melihatku lamban. Menikmati semburat tangis yang tak terelakkan.
Waktu hebat, bukan? Ia mencipta rasa yang makin tak kekanakan.
Saat gadis lain memujimu rupawan, di mataku terpampang papan pembalik kebenaran.
Alih-alih menggetarkan, kau justru kerap tak rapi dan mudah kepanasan.
Menghadapiku tanpa semprot pengharum badan, merajuk minta mukamu dibersihkan.
Omelan kecil, pertengkaran tak berarti, sisipan serius perbincangan.
Barangkali itulah jelmaan perhatian.
Belajar mencinta layaknya menerima kebenaran. Tak semua nyaman, namun harus dinikmati dengan keikhlasan.
Ditengah denting lonceng perbedaan, patutlah kuhaturkan syukur atas kemurahan hadirnya rekan seperjalanan. Pria jujur penuh kekurangan.
Namun tak ayal, menggenapkan.
Ecieee… yang lagi kasmaran, hahahaha. Apa kabar Bu?
mari kasmaran setiap hari, Mas hehe. Kabar baik, Mas Amunk apa kabar?
you are my favorite! love you 🙂 ❤
love you too 🙂