Merasa Lebih
Seberapa sering kita merasa jadi orang yang lebih? Lebih di sini bukan hanya lebih yang baik-baik saja lho. Pun termasuk “lebih” yang negatif. Lebih menderita, lebih sibuk, beban hidupnya lebih berat. Sore tadi, sepulang dari Kampung Halaman saya sedang dianugerahi rasa lebih itu. Ada beberapa pekerjaan dari dua tempat berbeda yang menumpuk. Ditambah tugas kelompok, urusan KKN, plus ujian esok hari. Jika otak bisa dibuka barangkali dalam otak saya akan ditemukan kompartemen yang penuh agenda. Rasa lebih itu kemudian menjelma menjadi sikap uring-uringan.
Semua Salah
Jeleknya, kalau sedang begini egoisme saya muncul. Ingin dapat kartu top priority di tiap kesempatan. Hukum pokoknya berlaku. Pokoknya saya yang paling ribet, paling sibuk. Orang lain harus mengalah. Barangkali, memang Allah punya rencana menguji kesabaran saya. Sepanjang jalan pulang, saya justru selalu bertemu kendaraan yang leletnya setengah mati. Padahal di otak saya sudah tersusun rencana: sampai rumah jam sekian, mandi, istirahat, mengerjakan A sampai jam sekian, B selesai di jam sekian, Belajar C, tidur, bangun pagi lalu lanjut membenahi si D. Tapi semua itu terancam gagal karena mobil di depan saya berjalan sangat lambat. Kejadian ini bukan hanya sekali sepanjang perjalanan. Bila dihitung, bisa lebih dari tiga kali saya harus menghela nafas untuk berhadapan dengan pengendara yang santainya kebangetan. Saat itu di mata saya semua orang salah. Mereka seakan berkonspirasi menggagalkan rencana saya yang sudah tersusun rapi.
Bapak Berpunggung Luntur
Saat lagi mangkel-mangkelnya itu, saya masih dipaksa kembali menginjak rem karena sebuah sepeda yang mendesak menyeberang. Awalnya saya gemas. “Mbok ya sabar Pak, tunggu sebentar lagi”, batin saya. Bersepeda dengan ngotot kan justru membahayakan dirinya sendiri. Pengendara sepeda itu adalah seorang Bapak tua. Ia sempat mengangguk kecil pada saya yang berhenti untuk memberi kesempatan ia menyeberang. Reflek, saya membalas anggukannya. Pasca saling bertukar anggukan itulah dalam setengah menit saya mengamati Bapak itu dengan sungguh-sungguh. Ia menyeberang dengan cepat. Kayuhan sepedanya dipancang kuat. Seakan tidak ingin merepotkan orang lama-lama. Baju yang dikenakannya adalah kemeja safari kuno warna cokelat muda. Di bagian punggungnya, ada dua noda warna putih yang kontras dengan warna asli kemeja. Tanda terlalu sering dicuci. Barangkali, Bapak tersebut punya janji dengan seseorang. Sehingga harus buru-buru sampai bertindak nekat, ngotot membelah jalan yang ramai. Atau mungkin juga Bapak itu sudah terlambat kerja. Jogja baru saja diguyur hujan. Barangkali ia terpaksa menunggu hujan reda, hingga terpaksa dibayar dengan kayuhan sepeda sekuat tenaga.
Saya Tidak Selalu Lebih
Bapak yang punggung kemejanya bernoda putih itu menyadarkan saya. Betapa kerepotan yang sedang saya hadapi belum ada apa-apanya. Dan saya tidak sepantasnya emosi, apalagi mengeluh. Barangkali saya memang punya banyak agenda. Tapi ada kendaraan yang bisa membantu saya mencapai tempat tujuan dengan cepat. Nyaman pula. Kalaupun terlambat sampai rumah, paling-paling hanya harus tidur lebih larut untuk menyelesaikan pekerjaan. Di rumah semua sarana yang mempercepat kerja pun tersedia. Tempat nyaman, komputer, internet. Tinggal pakai. Kalau si Bapak? Ia kerepotan. Ia naik sepeda. Ia jelas butuh waktu dua kali lebih lama. Ia punya keterbatasan finansial. Badannya pun sudah jauh lebih renta dari saya. Puncaknya, harusnya Bapak itulah yang berkeluh kesah. Merasa marah. Karena ia lebih segala-galanya. Tapi toh ia masih punya waktu untuk menganggukkan kepala. Memperhatikan orang sok macam saya, di sela waktu sempitnya.
Saya malu.
Astaghfirullah… terima kasih untuk pelajaran senja yang berharga, Dear Allah.
ah. nancep. jleb.
thanks darla..
:*