Malam ini aku menangis dengan kikuk di ujung telepon.
“Kenapa?”, tanyamu panik.
“Film nya sedih. Huks huks”, jawabku tersenggal penuh isak.
Suaramu tertahan, seakan mengulum senyum.
Aku geram.
Awas kalau sampai tawamu meledak! Pastilah pecah kongsi kita, tak dapat terelakkan.
Malam sebelumnya juga kita lewati dengan tak kalah anehnya.
Dengan mata terus menjelajahi novel yang baru terbeli sesiangan, kuajak kau memasuki dunia khayal.
“Kalau saja ada lowongan jadi manusia hibrida. Aku mau mendaftar jadi salah satunya.”
“Kamu mau terbang?”, tanggapmu datar. Pasti sudah kau hapal semua cita-cita anehku. “Cuaca sedang buruk. Kalau mau mendaftar, pastikan kamu ambil formulir pasukan amfibi”.
Cukup sekali lirik dengan mata jahilmu, tawa kita pecah berderai sepanjang malam.
Esok paginya ulu hatiku sakit, kau mengeluh pipimu kaku.
Sadarkah kamu?
Kita tak juga berubah, setelah sekian banyak waktu.
Bermimpi bersama tetap jadi hobi nomor satu.
Ngobrol ini itu, membungkus bejana waktu malu-malu.
Walau kini makin ada-ada saja problem yang datang mengganggu.
Hening.
“Hey, sudah. Yang satu itu jangan dipikir dulu”, kamu berucap lirih di tengah lamunanku.
Aku mengangguk setuju.
“Ayo tadaruz berjamaah dulu”.
“Hah? Jarak jauh begini maksudmu?”
“Iya. Memang ada hukum yang melarang itu?”
Selalu ada caraNya yang dititipkan padamu.
Malam ini, harus kuakui. Cinta itu…kamu.
*Judul mengutip buku kumpulan puisi Moammar Emka. Cinta Itu, Kamu.*
Posted with WordPress for BlackBerry.
waaaaaaaaah. bagus *.*